Masa Jabatan Kepala Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tidak Bertentangan Dengan UUD 1945

Masa Jabatan Kepala Desa dan Periodisasi Jabatan Kepala Desa
Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
  1. Eliadi Hulu, S.H.
  2. Saiful Salim, S.H.
  3. M. Andrean Saefudin, S.H.
  4. Meky Yadi Saputra. B, S.H.
  5. Gino Septian Manatap
  6. Rizky Gunawan Taniloton
  7. Salmen Jaindru Purba
  8. Deshandra Yusuf Siswaan Atmadja, S.H.
  9. Subadria Nuka, S.H.
  10. Randika Fitrah Darmawan, S.H., M.H.
  11. Andi Takdir Palaguna, S.H., M.H.
  12. Hayirul R.
dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 15/PUU-XXI/2023 pada tanggal 31 Januari 2023, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Februari 2023.

Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar melakukan pengujian terhadap Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal UU Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Desa terhadap UUD 1945, yang berbunyi: 
Pasal 39
  1. Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
  2. Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut- turut atau tidak secara berturut-turut.
Bahwa Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pada pasal-pasal berikut:
  1. Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum".
  2. Pasal  7  yang  menyatakan  bahwa,  “Presiden  dan  Wakil  Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
  3. Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
  4. Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,  dan  kepastian  hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
  5. Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi:
[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon I berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 mengenai masa jabatan kepala desa yang harus dibatasi sesuai dengan konstitusi yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa sebagai negara hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pembatasan kekuasaan merupakan prinsip pokok yang harus dihadirkan dalam penyelenggaraan negara untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan serta dalam rangka melindungi hak asasi manusia. Secara hakiki UUD 1945 menganut prinsip pembatasan kekuasan termasuk di dalamnya pembatasan terhadap periodisasi masa jabatan alat-alat kelengkapan negara. Salah satu bentuk pembatasan kekuasaan ialah berlakunya ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal demikian dikarenakan Presiden adalah jabatan tunggal pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan.

Bahwa berkenaan dengan pembatasan masa jabatan publik pada umumnya, UUD 1945 hanya menentukan secara eksplisit pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja. Dalam hal ini, jabatan kepala desa tidak diatur dalam UUD 1945 melainkan diatur dalam undang-undang. Salah satu alasan pembedaan pengaturan demikian tidak terlepas dari kekhasan pemerintahan desa dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Berkaitan dengan pembatasan masa jabatan kepala desa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 adalah selama 6 (enam) tahun dan dapat menjabat kembali paling banyak 3  (tiga) kali masa  jabatan. Dengan  kata  lain, seseorang dapat menjabat sebagai kepala desa paling lama 18 (delapan belas) tahun. Dalam batas penalaran yang wajar, pembatasan demikian tidak hanya sebatas dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan termasuk di tingkat desa, tetapi juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (power tends to corrupt) karena terlalu lama berkuasa [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021].

[3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya, masa jabatan kepala desa mengalami dinamika perubahan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UU 5/1979) sampai dengan UU 6/2014. Dinamika perkembangan masa jabatan kepala desa dimaksud telah dipertimbangkan oleh Mahkamah   dalam   Putusan   Mahkamah   Konstitusi   Nomor   42/PUU-XIX/2021 Paragraf [3.11] yang menyatakan:
Bahwa pemerintahan desa merupakan bentuk administrasi pemerintahan paling bawah dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangannya, sistem dan bentuk pemerintah desa, termasuk pengisian jabatan kepala desa mengalami perubahan pengaturan sejak Indonesia merdeka hingga pengaturan dalam UU 6/2014. Jika diikuti pengaturan tentang pemerintahan desa pada waktu berlakunya  Undang-Undang  Nomor 5  Tahun 1979  tentang  Pemerintahan Desa (UU 5/1979), pembentuk undang-undang telah mengatur pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa. Dalam hal ini, Pasal7 UU 5/1979 mengatur masa jabatan kepala desa adalah 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Artinya, seseorang hanya dapat menjadi kepala desa maksimal 2 (dua) periode dengan total masa jabatan seorang kepala desa maksimal adalah 16 (enam belas) tahun. Ketentuan dalam UU 5/1979 dapat dinilai sebagai bentuk perkembangan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia (UU 19/1965) yang sama sekali tidak mengatur perihal pembatasan periodesasi masa jabatan kepala desa. Perihal masa jabatan, Pasal 9 ayat (2) UU 19/1965 hanya mengatur masa jabatan kepala desa paling lama 8 (delapan) tahun, tanpa  diikuti  dengan ketentuan  dapat dipilih  kembali  sebagaimana  diatur dalam Pasal 7 UU 5/1979;
Bahwa sejak reformasi, pengaturan pemerintahan desa digabung dengan pemerintahan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999). Berkenaan dengan masa jabatan kepala desa, ketentuan Pasal 96 UU 22/1999 menyatakan, “masa jabatan kepala desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung  sejak  tanggal  ditetapkan”.  Kemudian,  Penjelasan  Pasal  96  UU 22/1999 menyatakan, “Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat”. Sekalipun Penjelasan tersebut seolah-olah “membuka” katub prinsip pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan, namun dengan digantinya UU 22/1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) maka dapat dipastikan tidak ada kepala desa yang memegang jabatannya melebihi 10 (sepuluh) tahun. Terlebih lagi, dalam masa transisi dari UU 22/1999 ke UU 32/2004, ditentukan bahwa kepala desa yang sedang menjabat pada saat mulai berlakunya UU 32/2004 tetap menjalankan tugas sampai  habis  masa  jabatannya  [vide  Pasal  236  ayat  (2)  UU  32/2004]. Selanjutnya, UU 32/2004 mengatur masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa sebagaimana termaktub dalam Pasal 204 UU 32/2004 yang menyatakan, “Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Norma  a quo telah menentukan  pembatasan  masa  jabatan  kepala  desa selama 6 (enam) tahun dan maksimal dua kali periode masa jabatan, sehingga seseorang tidak akan melebihi waktu 12 (dua belas) tahun menjadi kepala desa. Meskipun demikian, pembatasan yang ditentukan Pasal 204 a quo dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan peraturan daerah [vide Penjelasan Pasal 204 UU 32/2004]. Artinya, pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa dapat tidak sama dengan pembatasan yang telah ditentukan dalam Pasal 204 UU 32/2004 sepanjang memenuhi klausul “kesatuan masyarakat hukum adat masih hidup yang ditentukan dalam perda”.
Bahwa sebagai unit pemerintahan terbawah, dengan adanya pergantian UU 32/2004, pengaturan Pemerintahan Desa tidak lagi digabung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), tetapi diatur terpisah dalam UU 6/2014. Berkenaan dengan masa jabatan kepala desa, Pasal 39 UU 6/2014 menyatakan kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Dalam hal ini, bila seseorang telah dilantik sebagai kepala desa kemudian mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya, maka dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014]. Sedangkan berkaitan dengan frasa “secara berturut-turut” dan frasa “atau tidak secara berturut-turut” dijelaskan bahwa, “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014].”

Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, dinamika perubahan pada pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sangatlah tergantung pada faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis yang memengaruhi pada saat ketentuan tersebut dibuat. Dengan kata lain, apabila suatu saat pembentuk undang-undang berpendirian bahwa dengan memerhatikan perkembangan masyarakat terdapat kebutuhan untuk membatasi masa jabatan kepala desa, termasuk dengan menentukan periodisasi masa jabatan yang mungkin saja berbeda dengan ketentuan sebelumnya, hal itu tidaklah serta-merta dapat diartikan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pertimbangan untuk melakukan pembatasan demikian tidak memuat hal-hal yang dilarang oleh UUD 1945. Termasuk juga apabila terdapat pembedaan mengenai jangka waktu kepala desa menjabat dengan masa jabatan publik lainnya, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk mempersamakan antara masa jabatan kepala desa dengan masa jabatan publik lainnya, termasuk dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden serta masa jabatan kepala daerah.

Dengan demikian, dalil Pemohon I  berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 mengenai masa jabatan kepala desa yang harus dibatasi sesuai dengan konstitusi yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali adalah tidak beralasan menurut hukum.

Kesimpulan bahwa pembentuk Undang-Undang Desa dapat membatasi dan memperpanjang masa jabatan dan periodisasi jabatan Kepala Desa dengan memperhatikan perkembangan masyarakat tergantung faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis yang memengaruhi pada saat ketentuan tersebut dibuat.

putusan_mkri_8947_1680154563.pdf 603kb

Gabung dalam percakapan